Silaturrahim VS Networking
Saya sangat yakin semua pembaca pasti sangat sudah terbiasa mengenal dan paham dengan kata “Silaturrahim” dan pasti sudah sering melakukannya, terutama ketika Hari Raya Lebaran Idul Fitri tiba. Tapi jika mendengar kata “Networking” apa yang Anda pikirkan? Apakah langsung berpikir ke urusan IT dengan pernak pernik perangkat keras dan lunak komputer nya? Atau terbayang ke salah satu istilah dalam konsep bisnis yang mulai masuk di Indonesia di era 90an?
Jujur saja, sampai sekarang apakah Anda suka sedikit “alergi” bila mendengar kata-kata ‘Networking’? hehe..:) Jika iya, tidak apa-apa. Karena saya pun dulu begitu. Baiklah, daripada kita masih belum yakin dalam mendefinisikan makna keduanya secara gamblang dan lebih dalam lagi, mari kita telusuri melalui uraian di bawah ini.
Makna Silaturrahim
Silaturrahim tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat. Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Juga bermakna harfiyah rahim sebagai sifat Allah SWT yang ‘Maha Penyayang’ sehingga silaturrahim memiliki makna juga ‘menjalin hubungan rasa kasih sayang’ dengan sesama antar manusia . Kasih sayang merupakan sifat Allah yang sangat banyak disebutkan dalam al-qur’an. Dengan demikian, kita sebagai manusia yang taat, percaya dan bertaqwa kepada Allah SWT. tentu harus berupaya untuk meneladani sifat keutamaan-NYA tersebut di dalam menjalani kehidupan sehari-hari, karena sesuai janji-Nya, Allah akan menjadikan kasih sayang ada di dalam hati orang-orang beriman dan beramal sholeh.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat Maryam ayat 96 sebagi berikut :
اِنَّ الذِيْن امَنُو وَعَمِلُ الصَّلحَاَتِ سَيَجْعلُ لَهُم الرَّحْمَاُنُ وُدَّ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, yang Maha Rahman (Allah SWT) akan mengadakan perasaan kasih sayang bagi sesamanya. (QS. Maryam : 96)
Motivasi untuk bersilaturrahim
Silaturrahim merupakan bagian dari syariat dan bukan sekedar bentuk dari budaya atau adat istiadat. Sangat bervariasi cara agama kita dalam memotivasi umatnya untuk memperhatikan silaturrahim. Terkadang dengan bentuk perintah secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau juga dengan cara ancaman bagi mereka yang tidak menjalankannya.
Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah ta’ala,
“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ”.
Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.
Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas di atas. Antara lain:
Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahim menjadikan seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat; sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan ia belum mati.
Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penanggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).
Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan. Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.
Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.
Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.
Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahim. Orang yang tidak menjaga tali persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa menyambungmu (silaturrahim) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahim); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.
“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahim.
Makna Networking dan hubungannya dengan Silaturahim
Sebelumnya kita telah menguraikan makna dan motivasi serta hakekat dari silaturrahim itu sendiri. Sekarang kita akan coba uraikan sekilas makna tentang “Networking” (bahasa: jaringan). Menurut rujukan dari beberapa tulisan maupun buku-buku yang mengulas tentang bisnis atau enterpreunership, Networking adalah membangun hubungan dengan orang lain atau organisasi yang berpengaruh terhadap kesuksesan profesional maupun personal. Dari definisi tersebut terlihat bahwa networking memiliki makna lebih dari sekadar berkenalan, melainkan berbagi potensi dan informasi, mendapatkan integritas dan mempengaruhi, dan menciptakan visi yang mengarahkan kemampuan masing-masing individu untuk melakukan sesuatu terhadap orang lain.
Pengertian tersebut tidak berbeda dengan pendapat Dr. Frank Minirth dalam bukunya berjudul ‘You Can’. Ia mengungkapkan bahwa networking adalah seni berkomunikasi satu sama lain, berbagi ide, informasi dan sumberdaya untuk meraih kesuksesan individu ataupun kelompok.
“Networking is a process of getting together to get ahead. It is the building of mutually beneficial relationship”.
“Networking adalah proses kebersamaan. Selain itu networking merupakan jalinan hubungan yang bermanfaat dan saling menguntungkan,” tandasnya.
Secara garis besar dalam membangun networking haruslah berlandaskan prinsip saling menguntungkan dan komunikasi dua arah.
Jika melihat pada pendapat Frank diatas, apa yang Anda pikirkan tentang Silaturrahim dan Networking? Apakah keduanya memiliki makna dan tujuan yang sama? Wait…, kelihatannya dari makna bisa sama akan tetapi penulis ingin menggaris bawahi tentang tujuan dalam membangun networking haruslah berlandaskan pada prinsip saling menguntungkan dan komunikasi dua arah. Berarti jika dikatakan memiliki makna yang sama pada kegiatan silaturrahim juga harus ada landasan pada prinsip saling menguntungkan dong? Wah..jadi jika tujuannya seperti ini berarti kita bersilaturrahim ‘kalau ada maunya doang dong!…’ yang kira-kira menguntungkan bagi pihak yang mengunjungi terlebih lagi. Kurang lebihnya mungkin demikian yang tersirat di dalam benak kita.
Namun beberapa sumber dari dalil Al-Qur’an dan Hadits mengatakan bahwa di dalam kegiatan Silaturrahim pun memiliki berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan. Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah kerabat atau mengadakan arisan keluarga, namun ia juga memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Beberapa konsekwensi tersebut antara lain:
- Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.
Peringatan kepada kerabat ini mungkin dapat dicontohkan dengan bahasa yang santun, misalnya bisa saja kita mengingatkan kerabat kita yang mungkin masih percaya dengan jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang shalatnya masih bolong-bolong, yang belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan mengeluarkan zakat dan lain sebagainya. Berbagai nasehat tadi bisa disampaikan kepada yang bersangkutan secara langsung, atau bisa pula ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di awal rentetan acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.
Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan ‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang berkonsekwensi mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan semu, yang justru di hari akhir nanti akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.
Artinya: “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67.
- Saling bantu-membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala yang berlipat; yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Masa iya tokh? Yuk kita merujuk kepada hadits Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) berlipat ganda; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.
Masha Allah, ternyata berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan kita serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian ekstra kita pada mereka.
- Saling memaafkan kesalahan
Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang sangat wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.
Allah ta’aala berfirman:
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Meskipun terkadang tanpa disadari mungkin diantara kita telah melakukan suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan, yaitu: mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal. Padahal kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di’rapel’ di hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat.
Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang serasa kurang jika tidak dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”. Padahal dahulu para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah minna wa minkum” . Dan kalimat ini jelas lebih sempurna; sebab tidak semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah menerima amalan orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi selamat.
Nah, dari paparan dalil-dalil diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara kegiatan Silaturrahim dan Networking terlihat sama-sama memiliki landasan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak baik yang mengunjungi maupun yang dikunjungi. Bagi yang mengunjungi pasti mendapat untung karena mendapat ganjaran amal sholeh dari Allah, sedangkan bagi yang dikunjungi juga pasti mendapatkan untung minimal terkadang mendapat rizki dibawakan buah tangan oleh yang mengunjungi meskipun buah tangan tidak selalu harus yang bersifat kebendaan atau materi, namun bisa juga dalam bentuk immaterial seperti berupa kabar baik, informasi tips kesehatan, lowongan pekerjaan, peluang bisnis, rekomendasi tempat sekolah yang baik bagi pendidikan anak, dan lain sebagainya. So, apa bedanya antara Silaturrahim dan Networking? Hampir tidak ada, bukan? Silaturrahim adalah Networking, Networking adalah salah satu bentuk konsep/kegiatan yang memiliki makna Silaturrahim yang sangat dalam.
Kesimpulan
Last but not least, penulis teringat pada sebuah kutipan yang ditulis oleh seorang pelukis dan penyair ternama di zaman Renaisance berasal dari London – William Blake.
“No bird soars too high if he soars with his own wings. – Tidak ada burung terbang terlalu tinggi bila ia terbang dengan sayap-sayapnya sendiri.”~ William Blake (1757-1827).
Dimana kurang lebih mengungkapkan bahwa setiap mahkluk di dunia ini memerlukan satu sama lain untuk dapat berprestasi dan hidup bahagia. Meskipun kita berada di era modern, dimana segala sesuatu dapat dikendalikan dengan tehnologi mutakhir, tetapi kesuksesan berprestasi dan kebahagiaan kita masih sangat bergantung terhadap keberhasilan menciptakan networking.
Bukankah sebagai kaum muslimin dan muslimat yang kita cari dan tuju dalam hidup di dunia ini adalah menggapai ridho Allah SWT juga kebahagiaan dunia dan akhirat? Insyaallah, Amin. Semoga dari uraian-uraian diatas dapat membuka wawasan dan pola pikir serta sudut pandang kita lebih luas lagi, tidak sempit dengan hanya memaknai Silaturrahim sebagai suatu sarana atau ajang kumpul-kumpul semata. Namun di dalam sebuah silaturrahim harus ada nilai lebih yang saling mendatangkan keuntungan atau manfaat bagi kedua belah pihak bahkan lebih baik lagi jika berdampak luas bagi kemaslahatan umat. Jadi kita pun tidak perlu lagi merasa ‘takut’ atau ‘alergi’ dengan kata-kata dan kegiatan yang berbau Networking, haha..:). Malah ciptakanlah networking kita masing-masing seluas-luasnya semasa hidup kita. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang berkualitas dan bermanfaat tidak saja bagi diri kita sendiri, keluarga, teman-teman, kerabat, handai tolan, tetapi juga bisa bermanfaat bagi banyak orang tentunya. Insyaallah, Amin..
للناس أنفعهم الناس خير
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni. Disahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah).
Jakarta, 15 Maret 2017
Fitri Sundari, SS., M.Si. – Human Resources Management Consultant
Fak. Psikologi Terapan Kekhususan SDM, UI – Depok (2003-2005).